September 24, 2015

Catatan Shalat Idul Adha

Lapangan Kantin sudah disesaki manusia berpakaian dominan putih saat saya memasuki area tersebut. Shaf kosong tinggal sedikit, dan tentu letaknya di belakang. Saya dan jamaah perempuan yang hampir terlambat lainnya berjalan beriringan mencari keberuntungan menemukan tempat yang kering. Padang Panjang kemarin diguyur hujan, sehingga tanah lapangan cukup banyak yang digenangi air. Beberapa jamaah yang sudah duduk rapi dan cantik dengan mukenah bersihnya terlihat nyaman membentangkan sajadah di atas plastik transparan dengan tanah becek di bawahnya. Saya kebetulan tidak membawa apa-apa selain sajadah, mukenah dan dompet. Saya terus melangkah melewati barisan manusia untuk menemukan tempat yang cukup nyaman, setidaknya tidak lembab atau becek. Memindai dengan mata ternyata tidak mudah, karena tertutupi jamaah yang berdiri dan berjalan dengan tujuan yang sama seperti saya. 

Di panggung mini di muka lapangan, bapak kepala Departemen Agama sedang menyampaikan ceramah. Saya tidak bisa menyimak lantaran masih harap-harap cemas dengan spot saya shalat nanti. Ceramah lalu digantikan oleh bapak Walikota. Pertanda setelah ini shalat akan dimulai. Alhamdulillah beberapa menit setelah Muqaddimah, saya menemukan spot yang pas. Kering. Saya bentangkan sajadah dan memasang mukenah hadiah mahar dari suami tercinta. Pidato bapak Walikota banyak berisi informasi seputar perkembangan kota dan acara pengganti open house yang rutin beliau laksanakan setiap Idul Adha. Saya berdiri dan memotret situasi. Satu foto. Dua foto. Cukup. Saya amati sekitar saya. Ibu-ibu banyak yang sibuk dengan anaknya yang tampak bersih dan harum. Anak muda berselfie ria. Yang tampak menyimak pidato hanya mereka yang sepertinya sudah berumur. 


Pidato bapak Walikota usai. Shalat Idul Adha dimulai. 

Selain warna mukenah yang semakin berwarna-warni dan bercorak, hal lain yang saya sadari semakin berbeda dari tahun ke tahun adalah kekhidmatan lebaran. Semakin saya dewasa, kemeriahan lebaran semakin memudar. Membeli baju baru tidak semenyenangkan dulunya. Menyetrika baju bersih untuk dipakai di hari H pun rasanya seperti menyetrika baju kerja yang rutin dilakukan setiap pagi. Alasan satu-satunya yang saya pikir cukup benar adalah karena kewajiban hidup yang semakin banyak, dan terlalu lama jauh dari keluarga juga mungkin turut berkontribusi membuat lebaran jadi rutinitas tahunan biasa. Semakin saya pikirkan, semakin tidak ada gunanya. 

Saya mengalihkan fokus pada penceramah setelah shalat Id. Saya tidak menyimak siapa nama beliau, tapi isi ceramahnya cukup menarik. Beliau mengatakan bahwa makna Qurban bisa kita kategorikan jadi empat. Saya kebetulan hanya merekam dua poin saja, karena dari Muqaddimah hingga poin kedua saya masih mengawang-awang. 

Makna Qurban pertama diambil dari kisah Qabil dan Habil anak Nabi Adam SAW. Saat Allah mewahyukan kewajiban berQurban, Qabil memberikan gandumnya yang berkualitas buruk. Sedangkan Habil memberikan kambingnya yang paling sehat untuk dijadikan Qurban. Pesan yang tersirat adalah memberi yang terbaik. Bahwa sebagai apapun posisi kita dalam rumah tangga dan masyarakat, memberi yang terbaik akan menjadikan kita dicinta oleh Allah. Poin kedua adalah bahwa Qurban bermakna menyembelih sifat-sifat kebinatangan dalam diri kita, dan menumbuhkan naluri kemanusiaan. Pada dasarnya manusia memiliki dua sisi, baik dan buruk. Maka kualitas manusia itu ditentukan oleh mana yang dia tumbuhkembangkan hingga mendominasi, dan yang mana yang dia tahan hingga menciut dan hilang. 

Ceramah berlangsung sebentar, entah karena memang menarik atau saya yang telat menyimak. Setelah salam penutup, semua jamaah pun mulai berpulangan. Karena pergi dan pulang sendiri, sambil berjalan menuju parkiran, saya menelepon keluarga di kampung. Meminta maaf lahir batin, bertanya kabar dan rencana hari ini, dll. Setiba di rumah, saya makan dan berencana ke rumah guru-guru. Tapi hari masih pagi dan mungkin mereka masih disibukkan menjamu keluarga dekat. 

Saya jadi kangen rumah. 

No comments: