June 18, 2015

Film Jadul: Sederhana dan Apa Adanya


Ketika SD, saya adalah salah satu penggemar film P. Ramlee di keluarga saya. Selain saya? Cuma nenek sih yang suka. Hehehe... P. Ramlee menurut saya adalah pelopor perfilman komedi Melayu. Waktu itu saya masih tinggal di Kepulauan Riau, dengan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Film-film P. Ramlee (bajakan tentunya) memenuhi tempat keping CD di rumah. Favorit kita adalah serial Bujang Lapok. 

Kalau film B&W Hollywood cuma adik saya yang nomor 2 (kelas 2 SMA) yang suka. Kita semua heran darimana dan sejak kapan dia jadi pecinta film jadul. Saya hanya ingat tiba-tiba di suatu siang, waktu dia masih kelas 1, adik saya tertawa-tawa sendiri seperti biasa, dengan mata terpaku pada handphone layar 4 incinya. Saya yang waktu itu sedang sakit kepala langsung memintanya diam. Bukannya diam, dia malah semakin menggila. Saya bangun dan menghampirinya di kamar, lalu tanpa sengaja melihat layar handphone yang sedang ia pelototi. Anyway, kamu punya teman/saudara nggak yang ketawanya bikin kamu sulit banget untuk nggak ikut ngakak? Adik saya ini begitu orangnya. Tawanya seperti kuda, dan wajahnya yang sedang tertawa benar-benar hancur. Saya sulit memarahinya lebih dari 5 detik karena pasti saya kehilangan akal mencoba tampak marah, karena dalam hati udah mau ketawa atau... ditertawakan (kata adik-adik, saya kayak badut kalo lagi marah -_-). Sebelum mulut saya terbuka untuk memarahinya dan memintanya diam, dia tertawa lagi dan aaaarrghhh... Bibir saya malah senyum tanpa disuruh... Susah bangeeet marahin anak yang satu ini!! Ternyata dia menyadari kehadiran saya di pintu kamar. "Eh, ngapa kak?" dengan wajah suci tanpa dosa. "Jangan ribut. Kakak mau tidur, saki....," belum selesai, saya langsung dipotong, "Kak, kak, kak, kak. Lihatlah sini ada film lucu" lalu berdiri dan menyodorkan layar hp Cina-nya ke muka saya. Film bisu Charlie Chaplin tahun 1923 yang gerakan manusianya dipercepat 5x dan hanya diiringi musik, no conversation at all. 

Sejak saat itu, tablet saya selalu jadi korban suntikan film-film hitam putih. Setiap kali tablet saya nganggur, 'dipinjam' adik, maka bisa dipastikan ketika tablet itu kembali, koleksi video saya jadi bengkak. "Kak, udah aku masukin film bagus. Tonton ya. Yang Modern Time dulu. Baru Psycho. Keren kali kak. Mantaplah!". Yea, right. Kakakmu ini doyannya sama Avatar karya James Cameron, yang visualnya nggak ada yang bisa ngalahin. Lah disodorin film hitam putih, yang kameranya goyang-goyang, orangnya kayak kebelet pipis... Yassalam, dik -_- Akhirnya koleksi film yang kata adik saya "keren mantap kali" itu nggak pernah saya putar. Hibernasi berbulan-bulan di tablet. 

Cuplikan film Modern Times
Nah, kemarin... Film "up to date" saya sudah habis. Nggak ada lagi pilihan film yang asik ditonton. Akhirnya saya isenglah. Kali aja film yang "keren mantap kali" itu ada serunya juga. Saya mulai dengan Modern Times (1936), filmnya Charlie Chaplin. Dan... Ternyata seru juga, euy! Modern Times berkisah tentang kehidupan seorang pekerja pabrik yang menemukan tambatan hatinya. Tinggal di rumah reot tapi tetap bahagia. Kehilangan pekerjaan, mendapat pekerjaan baru, dipecat, dapat kerjaan lagi, dst, yang merupakan ritme kehidupan yang kala itu disebut "modern". Yang membuat menarik adalah kata "modern" itu. Lucu aja kalo kita bandingkan dengan saat ini, tahun 2015 yang disesaki teknologi. Dalam benak saya sejak SD, "modern" selalu identik dengan kecanggihan yang tersedia di kota-kota besar di Jawa. Handphone layar tipis, TV layar datar, mobil listrik, internet yang tersedia dimana-mana, dll. Dulu, atau paling tidak dalam era pembuatan film itu, ternyata "modern" hanya sebatas gaya hidup industrialis. Sepuluh tahun lagi, gimana ya orang-orang menerjemahkan kata ini? :) 

Salah satu adegan dalam film Psycho
Karena masih siang, saya lanjut nonton film sumbangan adik. Tahunnya sudah lebih tinggi, kamera nggak gempa lagi, gerakan manusianya juga udah normal, dan... Sudah ada dialognya!! Wah... Saya bahagia sekali, penonton...! Filmnya berjudul "Psycho" (1960), dinobatkan sebagai masterpiece pelopor film horor. Kata adik sih, "Kak, kak, kak, kak, itu ngeri kali filmnya kak. Hati-hati ajalah. Hiy... Ngeri kali lah...!". Errr... okay -_- Singkat cerita, Psycho memang film yang bagus dan nggak bosan mengikuti alurnya tanpa skipping. Masuk akal lah film ini disebut masterpiece pada zamannya. Tapi untuk komentar adik saya yang "ngeri kak... hiy... ngeri kali lah" sepertinya memang dia yang agak berlebihan. 

Kesimpulannya, 

Film Black & White jadul memang bukan untuk semua kalangan, apalagi anak-anak zaman sekarang (adik saya mungkin nyasar tuh, merasa dia lahir di zaman hitam putih). Nggak cocok ditonton oleh mereka yang punya harapan tinggi dan muluk-muluk (tsah! filosofis kali bah) karena punya plot ceritanya sederhana dan mudah ditebak banget. Bakal bikin bosan mereka yang matanya suka dimanjain pixel tinggi, animasi visual yang menguras banyak uang produksi, dan aktris yang kurus lurus dengan make-up warna warni (secara dulu ceweknya agak berisi dan ya tentulah mukanya juga hitam putih). 

Saran saya... Kalo kamu mau nyoba dan berharap akan suka film jadul, kosongkan dulu pikiranmu dari harapan-harapan bahwa film itu akan membuatmu berteriak "Waaah... Filmnya bagus bangeeeett!" karena bisa dipastikan ekspresi kamu bakal datar dan hambar. Jangan tanya kenapa adik saya bisa tergila-gila sama film jadul. Kalo kamu berakhir seperti dia, yang setiap selesai nonton bisa berteriak dari hati terdalam "Waaah... Filmnya bagus bangeeeett!", bersyukurlah karna kamu termasuk dalam klub orang-orang langka. And trust me, it's a good thing to be rare :)

No comments: