November 01, 2024

Ayah & Mak

 


Tak pernah bosan saya menceritakan dan menulis tentang Mak dan Ayah. Setiap kali memikirkan mereka, saya adalah Ainun yang sedang siap-siap berangkat sekolah, memasang tali sepatu dan melihat Ayah menghangatkan vespa tuanya. Asapnya memenuhi seluruh ruangan rumah kami yang mungil, membuat pedih mata. Lalu saya akan berdiri di depan, Ayah mengendarai vespa, adik saya Hafiz di tengah, dan Mak di belakang. Merasakan dinginnya pagi di pulau kecil yang panas di Kepulauan Riau. Memasuki kelas yang seringkali masih kosong, duduk di belakang, menunggu teman kelas satu per satu datang dengan rambut basah sehabis keramas dan bedak yang dipakai terburu-buru. 

Entah kenapa penggalan memori tersebut sangat jelas di kepala saya. Bukan hari istimewa. Pagi yang monoton, yang terjadi setiap Senin-Sabtu selama 3 tahun, dari saya kelas 3 hingga 6 SD. Selain itu, tak banyak yang saya ingat kecuali beberapa kejadian penting. Karena setelah lulus SD, saya merantau seorang diri hingga lulus kuliah. Ingatan saya tentang hidup bersama Mak dan Ayah hanya itu saja. Tiga tahun.

Seperti kebanyakan keluarga di budaya timur, tak pernah ada percakapan mendalam antara saya dan orang tua selain ketika saya menyampaikan jurusan apa yang akan saya ambil ketika lulus SMA. Hanya hingga saya memasuki usia 25 tahun dan menikah baru saya mulai memiliki pemahaman baru. Saya baru menyadari, Ayah dan Mak tidak pernah beradu mulut (paling tidak di hadapan kami anak-anaknya). Saya baru tahu, Ayah dan Mak tak pernah memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya. Kami cukup bebas dalam menentukan pilihan hidup asalkan kami membuktikan kami sudah bisa dipercaya. Dua hal yang menurut saya sangat berkontribusi besar terhadap cara saya melihat dunia dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri.

 Apa yang saya lakukan dan saksikan sehari-hari selama 3 tahun itu ternyata sangat mengakar dan mempengaruhi ekspektasi saya dalam hidup berumah tangga. Pemandangan Ayah dan Mak yang sering saling bantu. Mak yang masak dan Ayah yang mencuci pakaian. Ayah dan Mak yang gantian berbelanja ke pasar. Ketika dewasa dan mengenal isu kesetaraan gender, saya agak sulit merasa related karena tidak pernah ada masalah itu di rumah dan saya pun tidak diperlakukan berbeda dengan adik-adik saya yang semuanya laki-laki. Kami semua diberi tanggung jawab sesuai situasi dan kondisi, tidak pernah ada pelabelan tugas laki-laki dan perempuan. Kalau pun ada adik saya yang jarang kebagian tugas, itu karena reaksinya dan orang tua saya lelah untuk berargumen. Bukan karena adik saya laki-laki dan dibiarkan saja karena "udahlah, dia kan laki-laki."

 Mungkin Ayah dan Mak menjalani perannya sebagai orang tua hanya berdasarkan cara mereka dibesarkan dan apa yang diceritakan di dalam Al-Qur'an dan Hadist. Tak ada teori parenting seperti sekarang. Semuanya serba diturunkan atau dipelajari sendiri melalui trial dan error. Saya tidak pula menyangkal bahwa ada beberapa hal berbeda, yang sifatnya mungkin cukup prinsipal, tapi lagi-lagi, pengalaman dan usia membuka mata saya bahwa tidak ada orang yang sempurna, apalagi orang tua yang sempurna. Semuanya menurunkan 'trauma' tersendiri. Tidak ada yang bersih dari 'trauma'. Kesimpulannya: mengerti, memaafkan, dan melihat sisi dibalik itu. Percaya atau tidak, dibalik karakter kita yang dibentuk usia, dibalik trauma itu, ada kekuatan diri yang terbentuk keadaan yang memaksa.

 Bulan depan adalah Desember 2024, bulan terakhir Ayah mengabdi sebagai ASN. Sepanjang karir, Ayah hanya ingin menjadi pegawai biasa, menjalankan tugas sesuai tupoksinya. Namun di tahun 2016, Ayah terpaksa menerima promosi jabatan sebagai kepala kantor sebagai bekal agar mutasi selanjutnya bisa ditempatkan dekat kampung. Ayah yang begitu takut menerima uang yang meragukan, begitu hati-hati dan selalu menanyakan uang yang masuk rekening. Penggunaan BBM mobil dinas kepala memang beliau hitung penggunaannya untuk pekerjaan dan urusan pribadi, sehingga seringkali ada pengembalian uang BBM. Ayah adalah kepala kantor yang rela tinggal di mes yang sangat sederhana dengan kasur busa single di lantai dan baju bergantungan di dinding karena tak ada lemari, bahkan Ayahpun mengundang pegawai perantauan lainnya untuk tinggal di kamar yang masih kosong.

 Menginjak usia 35 tahun ini, saya melihat Ayah dan Mak sebagai manusia yang penuh kekurangan, namun justru itu yang membuat saya semakin hormat dan begitu menyayangi keduanya. Takkan habis kata-kata saya bercerita tentang mereka.

 Selamat menyambut hari pensiun, Ayah. Semoga Ayah selalu sehat, lucu, bisa mengunjungi anak cucu, dan bisa jalan-jalan ke manapun Ayah mau.

 


No comments: