Tak pernah bosan saya
menceritakan dan menulis tentang Mak dan Ayah. Setiap kali memikirkan mereka,
saya adalah Ainun yang sedang siap-siap berangkat sekolah, memasang tali sepatu
dan melihat Ayah menghangatkan vespa tuanya. Asapnya memenuhi seluruh ruangan
rumah kami yang mungil, membuat pedih mata. Lalu saya akan berdiri di depan, Ayah
mengendarai vespa, adik saya Hafiz di tengah, dan Mak di belakang. Merasakan
dinginnya pagi di pulau kecil yang panas di Kepulauan Riau. Memasuki kelas yang
seringkali masih kosong, duduk di belakang, menunggu teman kelas satu per satu
datang dengan rambut basah sehabis keramas dan bedak yang dipakai terburu-buru.
Entah kenapa penggalan
memori tersebut sangat jelas di kepala saya. Bukan hari istimewa. Pagi yang
monoton, yang terjadi setiap Senin-Sabtu selama 3 tahun, dari saya kelas 3
hingga 6 SD. Selain itu, tak banyak yang saya ingat kecuali beberapa kejadian
penting. Karena setelah lulus SD, saya merantau seorang diri hingga lulus
kuliah. Ingatan saya tentang hidup bersama Mak dan Ayah hanya itu saja. Tiga
tahun.
Seperti
kebanyakan keluarga di budaya timur, tak pernah ada percakapan mendalam antara
saya dan orang tua selain ketika saya menyampaikan jurusan apa yang akan saya
ambil ketika lulus SMA. Hanya hingga saya memasuki usia 25 tahun dan menikah
baru saya mulai memiliki pemahaman baru. Saya baru menyadari, Ayah dan Mak
tidak pernah beradu mulut (paling tidak di hadapan kami anak-anaknya). Saya
baru tahu, Ayah dan Mak tak pernah memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya.
Kami cukup bebas dalam menentukan pilihan hidup asalkan kami membuktikan kami
sudah bisa dipercaya. Dua hal yang menurut saya sangat berkontribusi besar
terhadap cara saya melihat dunia dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri.
Apa yang saya
lakukan dan saksikan sehari-hari selama 3 tahun itu ternyata sangat mengakar
dan mempengaruhi ekspektasi saya dalam hidup berumah tangga. Pemandangan Ayah
dan Mak yang sering saling bantu. Mak yang masak dan Ayah yang mencuci pakaian.
Ayah dan Mak yang gantian berbelanja ke pasar. Ketika dewasa dan mengenal isu
kesetaraan gender, saya agak sulit merasa related karena tidak pernah ada
masalah itu di rumah dan saya pun tidak diperlakukan berbeda dengan adik-adik
saya yang semuanya laki-laki. Kami semua diberi tanggung jawab sesuai situasi
dan kondisi, tidak pernah ada pelabelan tugas laki-laki dan perempuan. Kalau
pun ada adik saya yang jarang kebagian tugas, itu karena reaksinya dan orang
tua saya lelah untuk berargumen. Bukan karena adik saya laki-laki dan dibiarkan
saja karena "udahlah, dia kan laki-laki."
Mungkin Ayah dan
Mak menjalani perannya sebagai orang tua hanya berdasarkan cara mereka
dibesarkan dan apa yang diceritakan di dalam Al-Qur'an dan Hadist. Tak ada
teori parenting seperti sekarang. Semuanya serba diturunkan atau dipelajari
sendiri melalui trial dan error. Saya tidak pula menyangkal bahwa ada beberapa
hal berbeda, yang sifatnya mungkin cukup prinsipal, tapi lagi-lagi, pengalaman
dan usia membuka mata saya bahwa tidak ada orang yang sempurna, apalagi orang
tua yang sempurna. Semuanya menurunkan 'trauma' tersendiri. Tidak ada yang
bersih dari 'trauma'. Kesimpulannya: mengerti, memaafkan, dan melihat sisi
dibalik itu. Percaya atau tidak, dibalik karakter kita yang dibentuk usia,
dibalik trauma itu, ada kekuatan diri yang terbentuk keadaan yang memaksa.
Bulan depan
adalah Desember 2024, bulan terakhir Ayah mengabdi sebagai ASN. Sepanjang
karir, Ayah hanya ingin menjadi pegawai biasa, menjalankan tugas sesuai
tupoksinya. Namun di tahun 2016, Ayah terpaksa menerima promosi jabatan sebagai
kepala kantor sebagai bekal agar mutasi selanjutnya bisa ditempatkan dekat
kampung. Ayah yang begitu takut menerima uang yang meragukan, begitu hati-hati
dan selalu menanyakan uang yang masuk rekening. Penggunaan BBM mobil dinas
kepala memang beliau hitung penggunaannya untuk pekerjaan dan urusan pribadi,
sehingga seringkali ada pengembalian uang BBM. Ayah adalah kepala kantor yang
rela tinggal di mes yang sangat sederhana dengan kasur busa single di lantai
dan baju bergantungan di dinding karena tak ada lemari, bahkan Ayahpun
mengundang pegawai perantauan lainnya untuk tinggal di kamar yang masih kosong.
Menginjak usia
35 tahun ini, saya melihat Ayah dan Mak sebagai manusia yang penuh kekurangan,
namun justru itu yang membuat saya semakin hormat dan begitu menyayangi
keduanya. Takkan habis kata-kata saya bercerita tentang mereka.
Selamat
menyambut hari pensiun, Ayah. Semoga Ayah selalu sehat, lucu, bisa mengunjungi
anak cucu, dan bisa jalan-jalan ke manapun Ayah mau.
No comments:
Post a Comment